Jumat, 08 Juni 2018

Pertumbuhan dan Pertambahan Penduduk

TUGAS INDIVIDU

A.   Landasan
Pertambahan penduduk adalah perubahan populasi sewaktu-waktu, dan dapat dihitung sebagai perubahan dalam jumlah individu dalam sebuah populasi menggunakan "per waktu unit" untuk pengukuran. Sebutan pertambahan penduduk merujuk pada semua spesies, tetapi selalu mengarah pada manusia, dan sering digunakan secara informal untuk sebutan demografi nilai pertambahan penduduk, dan digunakan untuk merujuk pada pertumbuhan penduduk dunia.
Dalam arti sederhana, penduduk adalah sekelompok orang yang tinggal atau menempati suatu wilayah tertentu. Pengertian penduduk tercantum dalam UUD 1945 Pasal 26 ayat 2, yang berbunyi: “Penduduk Indonesia adalah Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing yang bertempat tinggal di Indonesia”. Kemudian pengertian penduduk secara umum adalah semua orang yang berdomisili di wilayah geografis suatu negara selama jangka waktu tertentu serta sudah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh peraturan negara.
Di Indonesia sendiri, seseorang atau kelompok bisa dikatakan penduduk jika sudah tinggal atau menetap di wilayah Indonesia selama kurang lebih enam bulan dan atau mereka yang berdomisili kurang dari enam bulan tetapi memiliki tujuan untuk menetap. Oleh karena itu, penduduk bisa dibedakan menjadi dua bagian:
Ø Pertama, adalah penduduk Indonesia yang umumnya adalah orang Indonesia asli serta berstatus sebagai Warga Negara Indonesia.
Ø Kedua, adalah penduduk yang bukan Warga Negara Indonesia, pada umumnya berasal dari luar negeri (Warga Negara Asing) atau yang sering kita sebut sebagai orang asing. Kemudian untuk menjadi penduduk Indonesia, orang asing tersebut harus mendaftar dulu untuk tinggal di Indonesia menurut perundang-undangan yang berlaku.
Konsep penduduk di Indonesia menurut Badan Kependudukan dan Catatan Sipil, penduduk adalah orang atau kelompok yang memiliki KTP (Kartu Tanda Penduduk) dan atau memiliki KK (Kartu Keluarga).

B.   Perkembangan Penduduk Indonesia
Indonesia memiliki jumlah penduduk yang sangat besar, setiap tahunnya jumlah penduduk Indonesia terus bertambah. Dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi, maka hal ini mendorong negara Indonesia agar terus giat dan gencar meningkatkan kualitas penduduk. Salah satu cara yang paling cocok dan paling strategis untuk meningkatkan kualitas penduduk Indonesia adalah peningkatan dalam bidang pendidikan.
Sensus penduduk di Indonesia pertama kali diadakan pada tahun 1930, pada saat itu masih berada di bawah penjajahan Belanda, jumlah penduduk nusantara hanya berjumlah 60,7 juta jiwa. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia juga mengadakan sensus penduduk pertama setelah Indonesia merdeka yaitu pada tahun 1961. Hasil sensus penduduk tahun 1961 yang diselenggarakan oleh pemerintah Indonesia menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia sebanyak 97,1 juta jiwa.
Sensus penduduk kedua dilaksanakan oleh pemerintah pada tahun 1971. Hasil sensus penduduk tahun 1971 tersebut menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia sebanyak 119,2 juta jiwa. Kemudian pemerintah melaksanakan sensus penduduk yang ketiga yaitu pada tahun 1980, hasilnya menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia sebanyak 146,9 juta jiwa.
Sensus penduduk keempat dilaksanakan pada tahun 1990, sensus ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia sebanyak 178,6 juta jiwa. Sensus penduduk ke lima lakukan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2000, hasil sensus saat itu menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia sebanyak 205,1 juta jiwa. Sensus penduduk yang terbaru yaitu sensus penduduk keenam dilaksanakan pada tahun 2010, hasilnya menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237,6 juta jiwa.
Dari hasil pencatatan data sensus yang dilakukan pemerintah mulai 1961 hingga yang terbaru tahun 2010 menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Jumlah penduduk Indonesia mengalami kenaikan dari tahun 1971 sampai tahun 1980 sebanyak 28.282.069 jiwa (23,72%).

C. Pertambahan Penduduk dan Lingkungan Pemukiman
Surabaya sebagai kota metropolitan terbesar kedua di Indonesia, merupakan pusat pertumbuhan orde pertama yang telah menjadi “magnet” terkuat bagi penduduk di daerah penyangga (hinterland), terutama daerah perdesaan sekitar kota tersebut. Keberadaan Kota Surabaya tersebut merupakan bagian dari daerah perkotaan (urban) di Indonesia, khususnya di P.Jawa. Secara makro, pertumbuhan penduduk perkotaan di P.Jawa terus berkembang sehingga Jawa telah dijuluki sebagai urban island. Mereka datang ke Kota Surabaya karena di tempat tersebut banyak pilihan untuk memperoleh berbagai kesempatan dalam upaya memperbaiki kehidupannya. Mereka datang ke Kota Surabaya dengan berbagai motif, meskipun motif ekonomi adalah unsur yang paling dominan. Mereka mempunyai persepsi dan harapan untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi daripada di daerah asal, terutama perdesaan. Meskipun demikian, pesatnya pertumbuhan penduduk Kota Surabaya selain disebabkan oleh proses migrasi, juga karena pertambahan alami. Kota Surabaya itu sendiri telah berkembang dalam proses interaksi dari komponen keadaan penduduk, teknologi, lingkungan dan organisasi perkotaan sehingga telah melahirkan “ecological urban complex”.
Sejalan dengan kondisi yang demikian maka di Kota Surabaya, seperti halnya kota-kota metropolitan yang lain, muncul kamajemukan masyarakat. Sebagian dari sekmen masyarakat yang majemuk tersebut adalah penduduk yang tinggal di daerah perkampungan kumuh baik yang legal maupun yang ilegal. Penduduk yang bermukim di kampung yang ilegal lazim disebut penduduk liar atau penduduk spontan atau squatters. Hal tersebut telah menjadi fenomena sosial yang universal, artinya telah terjadi di banyak negara. Keberadaan masyarakat kumuh tersebut merupakan realita sosial yang tidak dapat dihilangkan, sepanjang penduduk daerah penyangga Kota Surabaya masih hidup dalam kondisi marginal atau telah terjadi proses ketimpangan dalam kehidupan sosial-ekonomi. Pembangunan investasi yang bergerak pesat telah terjadi di Surabaya sehingga telah memperlebar jurang ketimpangan dengan kondisi sosial-ekonomi daerah perdesaan. Oleh karena itu ketimpangan tersebut telah menimbulkan proses migrasi , antara lain penduduk non-permanen pada strata sosial-ekonomi bawah.
Pada tataran regional, adanya proses kaitan yang kurang harmonis antara Kota Surabaya dengan daerah belakang telah berlangsung puluhan tahun. Kehidupan mereka di Surabaya telah ditunjukkan oleh rendahnya kualitas pendidikan migran non-permanen dan umumnya mereka bekerja sebagai buruh dan sebagian lain berusaha pada sektor informal. Sepanjang pekerjaan di sektor informal maupun buruh murah masih ada demand di masyarakat Surabaya dan dinilai secara ekonomi menguntungkan, maka keberadaan mereka akan tetap ada. Pilihan mereka menjadi tukang becak, menjadi pemulung, menjadi penjual pakaian bekas, penjaja makanan murah, menjadi buruh babrik, menjadi pembantu rumahtangga, adalah pilihan jenis pekerjaan yang rasional dan menjadi tujuan mengingat tingkat kemampuan ekonomi dan tingkat pendidikan mereka yang umumnya sangat rendah.
Oleh karena itu keberadaan penduduk marginal di lingkungan permukiman kumuh Kota Surabaya merupakan suatu keniscayaan, dan tidak perlu dipertentangkan dengan upaya pemerintah daerah Kota Surabaya yang ingin meningkatkan keindahan dan kenyamanan lingkungan kota. Pemerintah Kota Surabaya tidak dapat melarang seseorang yang ingin bermigrasi, karena hak asasi manusia telah melindunginya, walaupun mereka seharusnya mematuhi perundang-undangan yang berlaku dan menghormati nilai-nilai yang hidup pada masyarakat Kota Surabaya. Dalam hal ini kegiatan penduduk marginal di permukiman kumuh dapat dilihat sebagai sub-sistem dari sistem perkotaan Surabaya. Penduduk migran non-permanen yang bermukim di daerah kumuh antara lain berada di Kelurahan Putat Gede, Kelurahan Tg.Sari, Kelurahan Suko Manunggal, Kelurahan Pacar Keling, Kelurahan Kr.Pilang dan Kelurahan Waru Gunung, cenderung didominasi oleh penduduk dari daerah perdesaan sekitar Kota Surabaya seperti Bangkalan, Gresik, Lamongan dan Mojokerto, meskipun mereka banyak pula yang datang dari daerah lain, bahkan dari luar provinsi Jawa Timur.
Migran non-permanen yang banyak tinggal di daerah permukiman ilegal tersebut sering disebut sebagai penduduk spontan atau disebut secara popular sebagai migran musiman , ternyata masih terikat dengan kehidupan daerah asalnya. Oleh karena itu sebagian besar dari mereka belum memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Kota Surabaya. Atas dasar pemilikan KTP Pemkot Surabaya telah membuat kebijakan dengan memberi prioritas dalam memperoleh atau memanfaatkan bantuan, fasilitas publik dan subsidi. Meskipun ada kebijakan yang diskriminatif namun dalam kenyataan sebagian warga musiman dapat ikut menikmatinya. Dalam hal ini terkesan bahwa pemerintah kota tidak ketat antara status kependudukan dengan hak-hak warganya. Aturan kependudukan yang tidak diikuti oleh ketegasan dalam implementasinya, tentunya telah membuat kondisi yang kondusif terjadinya migrasi masuk ke Surabaya, yang pada gilirannya menimbulkan berbagai masalah perkotaan, antara lain ketidakcukupan penyediaan fasilitas sosial, munculnya konflik tanah, penurunan daya dukung lingkungan, dan meningkatnya pengangguran.
Penduduk musiman yang umumnya hidup dalam kondisi marginal, diharuskan memiliki Kartu Identitas Penduduk Musiman (KIPEM), namun untuk mengurus KIPEM, apalagi menjadi warga Surabaya tidaklah sederhana. Mereka harus mengorbankan sejumlah dana dan waktu pengurusan yang dinilai cukup memberatkan. Di samping itu, dengan tetap mempertahankan sebagai warga musiman, berarti mereka tidak kehilangan statusnya sebagai warga di daerah asalnya. Dengan memiliki KTP daerah asal, berarti mereka masih tetap memiliki hak untuk melakukan berbagai urusan di daerah asalnya misalnya memilih kepala desa, mengurus pemilikan aset, dan mengurus tempat pemakaman. Oleh karena itu meskipun secara de fakto mereka tinggal di Surabaya, namun masih tetap terikat dengan daerah asalnya, bahkan telah terjadi arus remitan baik uang maupun barang, dan penyampaian ide-ide seputar kehidupan di Surabaya. Dalam keadaan demikian maka hal ini telah menimbulkan proses migrasi desa-kota secara “gandeng-ceneng” (chain migration). Hasil penelitian PPK-LIPI (2004) telah menunjukkan bahwa tidak semua pendatang, (meskipun telah lama tinggal di Surabaya, bahkan telah punya rumah), mempunyai KIPEM. Oleh karena itu dalam kenyataan jumlah pendatang musiman di Surabaya adalah di atas data statistik berdasarkan kepemilikan KIPEM.
Keberadaan migran non-permanen di permukiman kumuh yang menempati lahan milik pemerintah atau milik publik, dapat dikategorikan sebagai hunian ilegal atau lazim disebut hunian liar ( squatter). Hal ini jelas telah menimbulkan konflik antara penghuni dengan instansi yang bertanggung jawab atas lahan yang ditempatinya, seperti DAUP VIII PT.TKI dan Dinas PU . Meskipun mereka tinggal pada permukiman liar, namun mereka juga membentuk lembaga Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW), bahkan sebagian dapat menikmati penerangan listrik, ada pula yang punya telepon rumah, dan tetap membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Mereka juga telah berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Kondisi yang demikian, jelas akan mempersulit bagi Pemkot Surabaya maupun pemilik lahan untuk membebaskan permukiman demikian.
Munculnya permukiman liar dan permukiman yang tidak layak huni sebenarnya merupakan kelemahan managemen dalam mengelola tata ruang kota. Upaya telah dilakukan untuk mengurangi persoalan permukiman kumuh yaitu dengan perbaikan kondisi lingkungan dan membuat rumah susun yang telah melibatkan partisipasi masyarakat . Upaya ini telah dinilai berhasil, meskipun belum mampu menyelesaikan persoalan menyeluruh tentang permukiman kumuh yang cenderung bertambah sejalan dengan pertambahan penduduk pendatang yang ingin memperoleh perumahan murah. Banyak kendala yang dihadapi dalam penyediaan rumah layak huni dalam hal ini adalah rumah susun bagi keluarga kurang mampu antara lain kekurangan lahan kosong, rendahnya minat swasta untuk berinvestasi, dan harga tanah di Surabaya yang sangat mahal. Meskipun untuk membangun rumah susun adalah sulit, namun bagi kota metropolitan Surabaya nampaknya merupakan keharusan untuk memfasilitasinya.
Penduduk pendatang yang kurang selektif, meskipun telah memberi kontribusi negatif terhadap kondisi lingkungan kota karena telah menciptakan permukiman kumuh dengan segala implikasinya, namun sebenarnya mereka juga memberi kontribusi positif bagi pembangunan kota. Kota Surabaya telah memperoleh alokasi sumberdaya manusia dari daerah perdesaan. Sumberdaya manusia asal perdesaan kendati kualitasnya adalah rendah, namun mereka telah menjadi bagian dari ekosistem perkotaan yang secara langsung menyumbangkan jasa tenaga kerja murah, dan menyediakan produksi skala rumah tangga, terutama sangat diperlukan bagi usaha formal maupun masyarakat golongan menengah ke atas, baik sebagai tenaga kerja maupun sebagai bagian dari segmen pasar, bahkan sebagai distributor komoditi pabrikan. Keberadaan permukiman kumuh yang dapat menyediakan perumahan murah, juga sangat membantu penduduk kota yang menginginkannya, misalnya buruh pabrik atau pegawai daerah golongan rendah yang memerlukan kamar sewaan ataupun kontrakan yang relatif murah.

D.     Pertumbuhan Penduduk dan Tingkat Pendidikan
Kepala BKKBN pusat Dr Sugiri Syarief menegaskan, pertumbuhan penduduk Indonesia setiap tahunnya mencapai empat hingga lima juta jiwa atau sebesar penduduk Singapura.Penduduk Indonesia kini mencapai 220 juta jiwa dengan tingkat pertumbuhan 2,32% selama kurun waktu 1971-1980, kata kepala BKKBN Sugiri Syarief dalam sambutan tertulis dibacakan Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan BKKBN Pusat Dra Halimah di Denpasar, Selasa.
Pada pembukaan Rapat Kerja Keluarga Berencana Daerah (Rakerda) BKKBN Propinsi Bali tahun 2008, ia menyatakan, dengan program KB pertumbuhan sebesar 2,32% itu kini dapat ditekan menjadi 1,3%. Meskipun dengan program KB, jumlah penduduk Indonesia yang begitu besar, namun pertumbuhannya pun tergolong cukup besar, sekaligus berpengaruh terhadap struktur penduduk di Tanah Air. “Struktur penduduk Indonesia terbesar pada usia produktif, jika mampu mengelolanya dengan baik akan menjadikan kondisi ke arah yang baik, sebaliknya kalau gagal menanganinya menjadi pintu bencana,” ujar Sugiri Syarief dalam acara yang dihadiri Wakil Gubernur Bali IGN Kusuma Kelakan. Ia menilai, selain pertumbuhan penduduk Indonesia yang sangat pesat, dari segi kualitas masih rendah, jauh tertinggal dibanding negara-negara di kawasan ASEAN. Bahkan dengan Vietnam yang usia kemerdekaannya jauh lebih muda dibanding dengan Indonesia, namun negara itu indeks pembangunan manusianya masih lebih baik. Indeks pembangunan manusia Indonesia menempati posisi bawah, yakni urutan 108 dari 177 negara. Hal itu disebabkan angka kematian ibu dan bayi di Indonesia cukup tinggi, di samping indikator pendidikan masih rendah.
Perkembangan Jumlah Penduduk Indonesia dalam Kaitannya dengan Perkembangan Penduduk Dunia. Jumlah penduduk pada suatu negara selalu mengalami perubahan yang disebabkan oleh faktor kelahiran, kematian dan migrasi atau perpindahan penduduk. Perubahan keadaan penduduk tersebut dinamakan dinamika penduduk. Dinamika atau perubahan penduduk cenderung kepada pertumbuhan. Pertumbuhan penduduk ialah perkembangan jumlah penduduk suatu daerah atau negara. Jumlah penduduk suatu negara dapat diketahui melalui sensus, registrasi dan survei penduduk. Jumlah penduduk Indonesia sejak sensus pertama sampai dengan sensus terakhir jumlahnya terus bertambah. Sensus pertama dilaksanakan pada tahun 1930 oleh pemerintah Hindia Belanda. Sedangkan sensus yang pernah dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah pada tahun 1961, 1971, 1980, 1990 dan yang terakhir 2000. Sensus di Indonesia dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan waktu pelaksanaan sensus di Indonesia diadakan sepuluh tahun sekali.
Perbandingan jumlah, kepadatan dan laju pertumbuhan penduduk Indonesia dengan beberapa negara lain :
a. Indonesia dengan Negara ASEAN
1.  Jumlah penduduk : Indonesia menempati urutan pertama dalam kelompok negara ASEAN
2. Kepadatan penduduk : Indonesia berada pada urutan ke-5, yaitu 114 jiwa per km2, Singapura memiliki kepadatan penduduk paling tinggi dan Brunei Darussalam memiliki kepadatan penduduk terendah
3.  Pada tahun 2005, laju perumbuhan penduduk Indonesia menempati urutan ke-6 (1,45% per  tahun), setelah Laos (2,3% per tahun) Filipina (2,0% per tahun) Malaysia (1,80% per tahun), Brunei Darussalam (1,9% per tahun), Kamboja (1,8% per tahun) serta Singapura dan Thailand (0,8% per tahun)
b. Indonesia dengan Negara-negara di Dunia
1. Jumlah penduduk Indonesia berada pada urutan ke-4 (215,27 ju ta jiwa), setelah Cina (1,306 milyar jiwa), India (1,068 milyar jiwa) dan Amerika Serkat (295 juta jiwa) pada tahun 2005.
2. Negara terpadat penduduknya adalah Macao (22.260 jiwa per km2), setelah itu Monako(16.135 jiwa per km2) dan Singapura (7.461 jiwa per km2). Indonesia memiliki kepadatan penduduk jauh di bawah ketiga negara tersebut, yaitu sebesar 341 jiwa per km
c. Tingkat Pendidikan di Indonesia
Tingkat pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan kemampuan yang dikembangkan (UU RI No. 20 Tahun 2003 Bab I, Pasal I ayat 8). Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Jenjang pendidikan formal terdiri atas jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Sebagai persiapan untuk memasuki pendidikan dasar diselenggarakan kelompok belajar yang disebut pendidikan prasekolah. Pendidikan prasekolah belum termasuk jenjang pendidikan formal, tetapi baru merupakan kelompok sepermainan yang menjembatani anak antara kehidupannya dalam keluarga dengan sekolah.
1.    Tingkat Pendidikan Dasar
Pendidikan dasar diselenggarakan untuk memberikan bekal dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat berupa pengembangan sikap, pengetahuan, dan keterampilan menengah. Oleh karena itu pendidikan dasar menyediakan kesempatan bagi seluruh warga negara untuk memperoleh pendidikan yang bersifat dasar yang berbentuk Sekolah Dasar (SD) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau bentuk lain yang sederajat. UU RI No. 20 Tahun 2003 menyatakan dasar dan wajib belajar pada Pasal 6 Ayat 1 bahwa, “Setiap warga negara yang berusia 7 sampai dengan 15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
2.    Tingkat Pendidikan Menengah
Pendidikan menengah yang lamanya tiga tahun sesudah pendidikan dasar, di selenggarakan di SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas) atau satuan pendidikan yang sederajat. Pendidikan menengah dalam hubungan ke bawah berfungsi sebagai lanjutan dan perluasan pendidikan dasar, dalam hubungan ke atas mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan tinggi ataupun memasuki lapangan kerja. Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum, pendidikan menengah kejuruan, dan pendidikan menengah luar biasa, pendidikan menengah kedinasan dan pendidikan menengah keagamaan (UU No. 20 Tahun 2003 Bab VI Pasal 18 Ayat 1-3)
3.    Tingkat Pendidikan Tinggi
Pendidikan tinggi merupakan kelanjutan pendidikan menengah, yang diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik untuk menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut lembaga pendidikan tinggi melaksanakan misi “Tridharma” pendidikan tinggi yang meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dalam ruang lingkup tanah air Indonesia sebagai kesatuan wilayah pendidikan nasional. Pendidikan tinggi juga berfungsi sebagai jembatan antara pengembangan bangsa dan kebudayaan nasional dengan perkembangan internasional. Untuk itu dengan tujuan kepentingan nasional, pendidikan tinggi secara terbuka dan selektif mengikuti perkembangan kebudayaan yang terjadi di luar Indonesia untuk di ambil manfaatnya bagi pengembangan bangsa dan kebudayaan nasional. Untuk dapat mencapai dan kebebasan akademik, melaksanakan misinya, pada lembaga pendidikan tinggi berlaku kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan dan otonomi dalam pengolaan lembaganya. Satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi di sebut perguruan tinggi yang dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, dan universitas. Akademi merupakan perguruan tinggi yang menyelenggaran pendidikan terapan dalam suatu cabang atau sebagian cabang ilmu pengetahuan teknologi dan kesenian tertentu. Politeknik merupakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan terapan dalam sejumlah bidang pengetahuan khusus. Sekolah tinggi ialah perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau profesional dalam satu disiplin ilmu atau bidang tertentu. Institut ialah perguruan tinggi terdiri atas sejumlah fakultas yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau profesional dalam sekelompok disiplin ilmu yang sejenis. Universitas ialah perguruan tinggi yang terdiri atas sejumlah fakultas yang menyelenggarakan  pendidikan akademik dan/atau profesional dalan sejumlah disiplin ilmu tertentu. Pendidikan yang bersifat akademik dan pendidikan profesional memusatkan perhatian terutama pada usaha penerusan, pelestarian, dan pengembangan peradaban, ilmu, dan teknologi, sedangkan pendidikan yang bersifat profesional memusatkan perhatian pada usaha peradaban serta penerapan ilmu dan teknologi. Dalam rangka pengembangan diri, bangsa, dan negara. Output pendidikan tinggi diharapkan dapat mengisi kebutuhan yang beraneka ragam dalam masyarakat. Dari segi peserta didik kenyataan menunjukkan bahwa minat dan bakat mereka beraneka ragam. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, maka perguruan tinggi di susun dalam multistrata. Suatu perguruan tinggi dapat menyelenggarakan gerakan satu strata atau lebih. Strata dimaksud terdiri dari S0 (non strata) atau program diploma, lama belajarnya 2 tahun (D2) atau tiga tahun (D3), juga program nongelar. S1 (program strata satu), lama belajarnya empat tahun, dengan gelar sarjana, S2 (Program strata dua) atau program pasca sarjana, lama belajarnya dua tahun sesudah S1, dengan gelar magister, S3 (program strata tiga atau program doctor), lama belajarnya tiga tahun sesudah S2, dengan gelar doktor. Program diploma atau program nongelar memberi tekanan pada aspek praktis profesional sedangkan program gelar memberi tekanan pada aspek ataupun aspek akademik profesional. Disamping program diploma dan program sarjana, pendidikan tinggi (dalam hal ini LPTK atau Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) dapat juga menyelenggarakan program Akta mengajar yaitu Akta III, Akta IV, dan Akta V. Program ini diadakan untuk melayani kebutuhan akan tenaga mengajar di satu sisi dan pada sisi yang lain untuk melindungi profesi guru (tenaga kependidikan). Dengan ini dimaksudkan bahwa seorang hanya dianggap sah memiliki  kewenangan mengajar jika memiliki sertifikat atau akta mengajar, Program Akta Mengajar merupakan program paket kependidikan sebesar 20 SKS atau untuk lama studi satu semester (6 bulan) bagi masing-masing jenjang Akta.

E. Pertumbuhan Penduduk dan Penyakit yang Berkaitan dengan Lingkungan Hidup
Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk baik pertambahan maupun penurunannya. Adapun faktor – faktor yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk adalah kelahiran, kematian, dan perpindahan penduduk. Kelahiran dan kematian dinamakan faktor alami sedangkan perpindahan penduduk adalah faktor non alami. Migrasi ada dua yaitu migrasi masuk yang artinya menambah jumlah penduduk sedangkan migrasi keluar adalah mengurangi jumlah penduduk. Migrasi itu biasa terjadi karena pada tempat orang itu tinggal kurang ada fasilitas yang memadai. Selain itu juga kebanyakan kurangnya lapangan kerja. Maka dari itu banyaklah orang yang melakukan migrasi.
Dalam dalam masalah ini maka penduduk tidak aka jauh dengan masalah kesehatan atau penyakit yang melanda penduduk tersebut,dikarenakan lingkungan yang kurang terawat ataupun pemukiman yang kumuh,seperti limbah pabrik,selokan yang tidak terawat yang menyebabkan segala penyakit akan melanda para penghuni wilayah tersebut yang mengakibatkan kematian dan terjadi pengurangan jumlah penduduk.
Untuk menjamin kesehatan bagi semua orang di lingkunan yang sehat, perlu jauh lebih banyak daripada hanya penggunaan teknologi medikal, atau usaha sendiri dalam semua sektor kesehatan.
Usaha-usaha secara terintegrasi dari semua sektor, termasuk organisasi-organisasi, individu-individu, dan masyarakat, diperlukan untuk pengembangan pembangunan sosio-ekonomi yang berkelanjutan dan manusiawi, menjamin dasar lingkungan hidup dalam menyelesaikan masalah-masalah kesehatan.
Seperti semua makhluk hidup, manusia juga bergantung pada lingkungannya untuk memenuhi keperluan-keperluan kesehatan dan kelangsungan hidup. Kesehatanlah yang rugi apabila lingkungan tidak lagi memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia akan makanan, air, sanitasi, dan tempat perlindungan yang cukup dan aman- karena kurangnya sumber-sumber atau distribusi yang tidak merata. Kesehatanlah yang rugi apabila orang-orang menghadapi unsur-unsur lingkungan yang tidak ramah- seperti binatang-binatang mikro, bahan-bahan beracun, musuh bersenjata atau supir-supir yang mabuk.
Kesehatan manusia adalah keperluan dasar untuk pembangunan berkelanjutan. Tanpa kesehatan, manusia tidak dapat membangun apa pun, tidak dapat menentang kemiskinan, atau melestarikan lingkungan hidupnya. Sebaliknya, pelestarian lingkungan hidup merupakan hal pokok untuk kesejahteraan manusia dan proses pembangunan. Lingkungan yang sehat menghasilkan masyarakat yang sehat, sebaliknya lingkungan yang tidak sehat menyebabkan banyak penyakit.
Kemampuan manusia untuk mengubah atau memoditifikasi kualitas lingkungannya tergantung sekali pada taraf sosial budayanya. Masyarakat yang masih primitif hanya mampu membuka hutan secukupnya untuk memberi perlindungan pada masyarakat. Sebaliknya, masyarakat yang sudah maju sosial budayanya dapat mengubah lingkungan hidup sampai taraf yang irreversible. Prilaku masyarakat ini menentukan gaya hidup tersendiri yang akan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan yang diinginkannya mengakibatkan timbulnya penyakit juga sesuai dengan prilakunya tadi. Dengan demikian eratlah hubungan antara kesehatan dengan sumber daya social ekonomi. WHO menyatakan “Kesehatan adalah suatu keadaan sehat yang utuh secara fisik, mental dan sosial serta bukan hanya merupakan bebas dari penyakit”.Dalam Undang Undang No. 9 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan. Dalam Bab 1,Pasal 2 dinyatakan bahwa “Kesehatan adalah meliputi kesehatan badan (somatik),rohani (jiwa) dan sosial dan bukan hanya deadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan”. Definisi ini memberi arti yang sangat luas pada kata kesehatan. Keadaan kesehatan lingkungan di Indonesia masih merupakan hal yang perlu mendapaat perhatian, karena menyebabkan status kesehatan masyarakat berubah seperti: Peledakan penduduk, penyediaan air bersih, pengolalaan sampah,pembuangan air limbah penggunaan pestisida, masalah gizi, masalah pemukiman, pelayanan kesehatan, ketersediaan obat, populasi udara, abrasi pantai,penggundulan hutan dan banyak lagi permasalahan yang dapat menimbulkan satu model penyakit. Jumlah penduduk yang sangat besar 19.000 juta harus benar-benar ditangani masalah.pemukiman sangat penting diperhatikan. Pada saat ini pembangunan di sektor perumahan sangat berkembang, karena kebutuhan yang utama bagi masyarakat. Perumahan juga harus memenuhi syarat bagi kesehatan baik ditinjau dari segi bangungan, drainase, pengadaan air bersih, pentagonal sampah domestik uang dapat menimbulkan penyakit infeksi dan ventilasi untuk pembangunan asap dapur. Indonesia saat ini mengalami transisi dapat terlihat dari perombakan struktur ekonomi menuju ekonomi industri, pertambahan jumlah penduduk, urbanisasi yang meningkatkan jumlahnya, maka berubahlah beberapa indikator kesehatan seperti penurunan angka kematian ibu, meningkatnya angka harapan hidup ( 63 tahun ) dan status gizi. Jumlah penduduk terus bertambah, cara bercocok tanam tradisional tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Dengan kemampuan daya pikir manusia, maka manusia mulai menemukan mesin-mesin yang dapat bekerja lebih cepat dan efisien si dari tenaga manusia.
Contoh:

Surabaya Terkena wabah penyakit Sapi gila

Kurang aktif
Lembaga Perlindungan Konsumen Surabaya (LPKS) menilai pemerintah kurang aktif melakukan sosialisasi wabah penyakit sapi gila atau Bovine Spongiform Enchephalopathy (BSE) kepada masyarakat luas. “Pemerintah masih kurang respon dalam menjelaskan peristiwa anthraks yang terjadi tahun lalu maupun isu tentang BSE yang banyak diberitakan pada awal tahun ini,” ujar Pengurus LPKS, drh Djoko Legowo, MKes di Surabaya, Sabtu. Menurut alumni Fakultas Kedokteran Hewan Unair ini semestinya pemerintah lebih proaktif melakukan sosialisasi masyarakat tentang ihwal penyakit-penyakit hewan yang mungkin menjangkiti hewan qurban. Kemudian dijelaskan langkah-langkah apa yang telah, sedang dan akan dilakukan dalam menjamin ketersediaan hewan qurban yang aman di masyarakat, sehingga masyarakat konsumen mendapatkan haknya, yaitu perasaan aman dalam mengkonsumsi produk hewan korban. Khusus pada hari raya Idhul Adha ketika penyembelihan hewan qurban dilakukan secara terbuka di masyarakat, katanya, maka perlu dijelaskan langkah-langkah apa yang akan ditempuh untuk menghindari kemungkinan tersebarnya penyakit-penyakit itu. LPKS mengusulkan langkah kongkrit kepada pemerintah agar membuat kit-kit (alat) untuk mengetahui ada-tidaknya sapi gila. “Tidak perlu seluruh daerah di Indonesia, cukup ’sample-sample’ daerah tertentu atau melakukan isolasi terhadap daerah yang dicurigai, kemudian dilakukan uji tes laboratorium lebih lanjut,” katanya.
Kendati anthraks sudah reda, Djoko menduga penyakit anthraks saat ini masih ada di Jatim karena pemantauan berkelanjutan yang seharusnya dilakukan Departemen Pertanian dan instansi terkait tidak pernah disampaikan kepada masyarakat. “Kita nggak tahu pemerintah selalu mendadak dan kalau ada tekanan dari masyarakat sepertinya mereka baru melakukan dan melihat, seperti anthraks ini mereka hanya memberikan penjelasan ‘lips service’ saja ke masyarakat,” katanya. LPKS juga mengimbau kepada warga agar melakukan “class action” ke pemerintah kalau ada kejadian yang merugikan masyarakat, misalnya kepada warga yang terkena dampak penyakit sapi gila. Pantau sapi gila sebanyak 250 dokter hewan anggota Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) Cabang Jatim I dibantu mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Unair Surabaya telah melakukan pemantauan terhadap penyakit-penyakit strategis pada hewan qurban.
“Pemantauan kami lakukan dalam gelar bakti sosial menjelang pelaksanaan Idul Adha. Bakti sosial itu sendiri sudah kami mulai semenjak Selasa atau 20 Januari lalu,” ujar Ketua I PDHI Cabang Jatim I, drh CA Nidom MS.
Bakti sosial ini merupakan acara rutin yang digelar PDHI dan tahun 2004 merupakan tahun ke dua pelaksanaan bakti sosial yang area kerjanya dimekarkan menjadi dua kabupaten dan satu kota, Surabaya, Sidoarjo dan Gresik. Sebelumnya, bakti sosial hanya dilakukan di Surabaya, bakti sosial ini dilaksanakan dengan cara bekerja sama dengan instansi terkait sesuai peraturan yang berlaku serta bekerjasama dengan Yayasan Dana Sosial Al Falah (YDSF).
Dosen Biologi Molekuler Fakultas Kedokteran Hewan Unair ini mengatakan visi dari kegiatan ini adalah membantu masyarakat dalam memperoleh ternak dan daging yang aman, sehat, utuh, halal dan meningkatkan konsumsi daging ternak lokal. Untuk misi kegiatan, kata mantan anggota Tim Bom Bali itu, adalah pemantauan terhadap penyakit-penyakit strategis dan sapi gila pada hewan qurban dengan melaksanakan pemeriksaan “ante mortem” dan “post mortem”. Pemeriksaan “ante mortem”, dilakukan dengan cara mengunjungi secara aktif kepada para penjual hewan qurban yang tersebar di Kabupaten Sidoarjo, Gresik dan Kota Surabaya, serta upaya secara pasif melayani permintaan warga. “Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan kesehatan hewan terhadap penyakit-penyakit strategis pada hewan qurban dan juga kemungkinan terjadinya penyakit sapi gila, kemudian memberikan sertifikat kesehatan untuk ternak qurban yang sudah diperiksa,” katanya. Untuk pemeriksaan “post mortem”, dilaksanakan di tempat-tempat penyembelihan hewan qurban dengan menyebar tenaga dokter hewan dan mahasiswa ke titik-titik tersebut. “Pelaksanaan bakti sosial ini dilaksanakan dengan cara memantau teknik penyembelihan dan pemeriksaan kesehatan daging meliputi pemeriksaan terhadap daging, organ pencernaan dan pernafasan,” katanya

F.  Pertumbuhan  Penduduk dan Kelaparan
Dampak pertumbuhan penduduk di suatu negara sangat banyak dan bermacam-macam. Dampak pertumbuhan penduduk ini sangat merugikan keberlangsungan makhluk hidup  dan apabila tidak ada pencegahan dari pertumbuhan penduduk ini, maka akan semakin banyak dampak dan membuat keberlangsungan hidup suatu negara tidak lagi nyaman untuk ditinggali. Dampak dari pertumbuhan penduduk yaitu lahan tempat tinggal dan bercocok tanam berkurang, semakin banyaknya polusi dan limbah yang berasal dari rumah tangga, pabrik, perusahaan, industri, peternakan, dll. Angka pengangguran dan kemiskinan meningkat. Angka kesehatan  dan kecukupan gizi masyarakat menurun sehingga dapat menimbulkan penyakit baru. Pembangunan daerah semakin dituntut banyak. Ketersediaan pangan sulit. Pemerintah harus membuat kebijakan yang rumit.
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan, dll. Kemiskinan berkaitan erat dengan askes pelayanan kesehatan, pemenuhan kebutuhan gisi dan kalori. Dengan demikian penyakit masyarakat umumnya berkaitan dengan penyakit menular, seperti diare, penyakit lever, TBC dll. Juga penyakit kekurangan gizi termasuk busung lapar, anemi terutama pada bayi, anak-anak dan ibu hamil. Kematian adalah konsekuensi dari penyakit yang ditimbulkan karena kemiskinan ini. (kekurangan gisi menyebabkan rentan terhadap infeksi). Baik itu kematian bayi baru lahir (neonatal, kematian balita, kematian dewasa). Kaitan penduduk, kemiskinan, kesejahteraan dan komponen demografi seperti fertilitas, mortalitas, morbiditas, migrasi, ketenagakerjaan, perkawinan, dan aspek keluarga dan rumah tangga. Pengetahuan tentang aspek demografi akan membantu para policy makers dan perencana program untuk dapat membuat kebijakan yang tepat sasaran serta mengembangkan program yang tepat.
Penyebab kemiskinan dan keterbelakangan banyak dihubungkan dengan individu seseorang atau patologis, keluarga, sub budaya, agensi dan struktural. Penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin. Contoh dari perilaku dan pilihan adalah penggunaan keuangan tidak mengukur pemasukan. Penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga. Penyebab keluarga juga dapat berupa jumlah anggota keluarga yang tidak sebanding dengan pemasukan keuangan keluarga.  Keluarga mempunyai tanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan pelayanan dasar  (pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup dlll). Perlu pemberdayaan keluarga.  Penyebab sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar. Individu atau keluarga yang mudah tergoda dengan keadaan tetangga adalah contohnya. Penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi. Contoh dari aksi orang lain lainnya adalah gaji atau honor yang dikendalikan oleh orang atau pihak lain. Contoh lainnya adalah perbudakan. Penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.

G.    Kemiskinan dan Keterbelakangan
Secara sosiologis, kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan ditentukan oleh tiga faktor; yakni kesadaran manusia, struktur yang menindas, dan fungsi struktur yang tidak berjalan semestinya. Dalam konteks kesadaran, kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan biasanya merujuk pada kesadaran fatalistik dan menyerah pada “takdir”. Suatu kondisi diyakini sebagai pemberian Tuhan yang harus diterima, dan perubahan atas nasib yang dialaminya hanya mungkin dilakukan oleh Tuhan. Tak ada usaha manusia yang bisa mengubah nasib seseorang, jika Tuhan tak berkehendak. Kesadaran fatalistik bersifat pasif dan pasrah serta mengabaikan kerja keras. Kesadaran ini tampaknya dimiliki sebagian besar masyarakat Indonesia, sehingga kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan diterima sebagai takdir yang tak bisa ditolak. Bahkan, penerimaan terhadap kondisi itu merupakan bagian dari ketaatan beragama dan diyakini sebagai kehendak Tuhan. Kesadaran keberagamaan yang fatalistik itu perlu dikaji ulang. Pasalnya, sulit dipahami jika manusia tidak diberi kebebasan untuk berpikir dan bekerja keras. Kesadaran fatalistik akan mengurung kebebasan manusia sebagai khalifah di bumi. Sementara sebagai khalifah, manusia dituntut untuk menerapkan ajaran dalam konteks dunia dan akhirat. Oleh karena itu, kemiskinan dan kebodohan, wajib diubah. Bahkan, kewajiban itu adalah bagian penting dari kesadaran manusia. Faktor penyebab lain yang menyebabkan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan karena otoritas struktural yang dominan. Kemiskinan, misalnya, bisa disebabkan oleh ulah segelintir orang di struktur pemerintahan yang berlaku tidak adil. Kemiskinan yang diakibatkan oleh problem struktural disebut “kemiskinan struktural”. Yaitu kemiskinan yang sengaja diciptakan oleh kelompok struktural untuk tujuan-tujuan politik tertentu. Persoalan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan juga disebabkan karena tidak berfungsinya sistem yang ada. Sebab orang-orang yang berada dalam sistem tidak memiliki kemampuan sesuai dengan posisinya. Akibatnya sistem berjalan tersendat-sendat, bahkan kacau. Kesalahan menempatkan orang tidak sesuai dengan kompetensinya (one man in the wrong place) bisa mengakibatkan kondisi bangsa ini menjadi fatal. Kondisi masyarakat Indonesia yang masih berkubang dalam kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan, jelas berseberangan dengan prinsip-prinsip fitrah manusia. Fitrah manusia adalah hidup layak, berpengetahuan, dan bukan miskin atau bodoh. Untuk mengentaskan masyarakat Indonesia dari kubangan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan, pemerintah perlu mengambil kebijakan strategis. Kebijakan strategis tersebut membutuhkan suatu jalur yang dipandang paling efektif. Dalam konteks inilah penulis berpendapat bahwa pendidikan merupakan satu-satunya jalur paling efektif untuk mengentaskan seluruh problem sosial di Indonesia. Meskipun persoalan kemiskinan bisa saja disebabkan karena struktur dan fungsi struktur yang tidak berjalan, akan tetapi itu semua mengisyaratkan pada faktor manusianya. Struktur jelas buatan manusia dan dijalankan oleh manusia pula. Jadi, persoalan kemiskinan yang bertumpu pada struktur dan fungsi sistem jelas mengindikasikan problem kesadaran manusianya. Dengan demikian, agenda terbesar pendidikan nasional adalah bagaimana merombak kesadaran masyarakat Indonesia agar menjadi kritis.






Daftar Pustaka
Alathas, Secha. 1995. Migrasi & Distribusi Penduduk di Indonesia. Jakarta : Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN.
Anies. 2010. Penyakit Berbasis Lingkungan. Jakarta: Ar-Ruzz Media.
Anugrah, Novia. 2012. Penduduk dan Permasalahannya. Makasar: Universitas Negeri Makasar.
Bappenas, 2002. Tingkat Pemahaman Aparatur Pemerintah Daerah terhadap Prinsip-Prinsip Tata Pemerintahan yang Baik, Jakarta: Sekretariat Pengembangan Public Good Governance.
Bappenas, 2005. Penerapan Good Governance, Jakarta: Tim Pengembangan
Kebijakan Nasional Tata Kepemerintahan Yang Baik.
BPS. 2015. Jagakarsa dalam Angka. Badan Pusat Statistik.
Endah Ayu, Trophy. 2010. Pertumbuhan dan  Persebaran Penduduk Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Endah Ayu, Trophy. 2015. Jagakarsa dalam Angka. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Fattah, Sanusi , dkk. 2008. Ilmu pengetahuan sosial : untuk SMP/ MTs kelas VIII. Jakarta. Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional
Herimanto. 2008. IlmuSosialdanBudayaDasar. Jakarta : BumiAksara
Karyana, Yayat dkk. 2015. Mobilitas Penduduk dan Bonus Demografi. Bandung: Unpad Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar