TUGAS
INDIVIDU
A.
Landasan
Pertambahan penduduk adalah perubahan populasi sewaktu-waktu, dan dapat
dihitung sebagai perubahan dalam jumlah individu dalam sebuah populasi
menggunakan "per waktu unit" untuk pengukuran. Sebutan pertambahan
penduduk merujuk pada semua spesies, tetapi selalu mengarah pada manusia,
dan sering digunakan secara informal untuk sebutan demografi nilai pertambahan penduduk, dan
digunakan untuk merujuk pada pertumbuhan penduduk dunia.
Dalam arti sederhana, penduduk adalah sekelompok orang yang
tinggal atau menempati suatu wilayah tertentu. Pengertian penduduk tercantum
dalam UUD 1945 Pasal 26 ayat 2, yang berbunyi: “Penduduk Indonesia adalah Warga
Negara Indonesia dan Warga Negara Asing yang bertempat tinggal di Indonesia”.
Kemudian pengertian penduduk secara umum adalah semua orang yang berdomisili di
wilayah geografis suatu negara selama jangka waktu tertentu serta sudah
memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh peraturan negara.
Di Indonesia sendiri, seseorang
atau kelompok bisa dikatakan penduduk jika sudah tinggal atau menetap di
wilayah Indonesia selama kurang lebih enam bulan dan atau mereka yang
berdomisili kurang dari enam bulan tetapi memiliki tujuan untuk menetap. Oleh
karena itu, penduduk bisa dibedakan menjadi dua bagian:
Ø Pertama, adalah penduduk Indonesia yang umumnya adalah
orang Indonesia asli serta berstatus sebagai Warga Negara Indonesia.
Ø Kedua, adalah penduduk yang bukan Warga Negara Indonesia,
pada umumnya berasal dari luar negeri (Warga Negara Asing) atau yang sering
kita sebut sebagai orang asing. Kemudian untuk menjadi penduduk Indonesia,
orang asing tersebut harus mendaftar dulu untuk tinggal di Indonesia menurut
perundang-undangan yang berlaku.
Konsep penduduk di Indonesia menurut Badan Kependudukan dan
Catatan Sipil, penduduk adalah orang atau kelompok yang memiliki KTP (Kartu
Tanda Penduduk) dan atau memiliki KK (Kartu Keluarga).
B. Perkembangan Penduduk Indonesia
Indonesia memiliki jumlah penduduk
yang sangat besar, setiap tahunnya jumlah penduduk Indonesia terus bertambah. Dengan
pertumbuhan penduduk yang tinggi, maka hal ini mendorong negara Indonesia agar
terus giat dan gencar meningkatkan kualitas penduduk. Salah satu cara yang
paling cocok dan paling strategis untuk meningkatkan kualitas penduduk
Indonesia adalah peningkatan dalam bidang pendidikan.
Sensus penduduk di Indonesia pertama kali
diadakan pada tahun 1930, pada saat itu masih berada di bawah penjajahan
Belanda, jumlah penduduk nusantara hanya berjumlah 60,7 juta jiwa. Setelah
Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia juga mengadakan sensus penduduk pertama
setelah Indonesia merdeka yaitu pada tahun 1961. Hasil sensus penduduk tahun
1961 yang diselenggarakan oleh pemerintah Indonesia menunjukkan bahwa jumlah
penduduk Indonesia sebanyak 97,1 juta jiwa.
Sensus penduduk kedua dilaksanakan oleh
pemerintah pada tahun 1971. Hasil sensus penduduk tahun 1971 tersebut
menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia sebanyak 119,2 juta jiwa. Kemudian
pemerintah melaksanakan sensus penduduk yang ketiga yaitu pada tahun 1980,
hasilnya menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia sebanyak 146,9 juta jiwa.
Sensus penduduk keempat dilaksanakan pada tahun
1990, sensus ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia sebanyak 178,6
juta jiwa. Sensus penduduk ke lima lakukan oleh pemerintah Indonesia pada tahun
2000, hasil sensus saat itu menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia
sebanyak 205,1 juta jiwa. Sensus penduduk yang terbaru yaitu sensus
penduduk keenam dilaksanakan pada tahun 2010, hasilnya menunjukkan bahwa jumlah
penduduk Indonesia sebanyak 237,6 juta jiwa.
Dari hasil pencatatan data sensus yang dilakukan
pemerintah mulai 1961 hingga yang terbaru tahun 2010 menunjukkan bahwa
pertumbuhan penduduk Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Jumlah penduduk Indonesia mengalami kenaikan dari tahun 1971 sampai tahun 1980
sebanyak 28.282.069 jiwa (23,72%).
C.
Pertambahan Penduduk dan Lingkungan Pemukiman
Surabaya
sebagai kota metropolitan terbesar kedua di Indonesia, merupakan pusat
pertumbuhan orde pertama yang telah menjadi “magnet” terkuat bagi penduduk di
daerah penyangga (hinterland), terutama daerah perdesaan sekitar kota
tersebut. Keberadaan Kota Surabaya tersebut merupakan bagian dari daerah
perkotaan (urban) di Indonesia, khususnya di P.Jawa. Secara makro, pertumbuhan
penduduk perkotaan di P.Jawa terus berkembang sehingga Jawa telah dijuluki
sebagai urban island. Mereka datang ke Kota Surabaya karena di tempat tersebut
banyak pilihan untuk memperoleh berbagai kesempatan dalam upaya memperbaiki
kehidupannya. Mereka datang ke Kota Surabaya dengan berbagai motif, meskipun
motif ekonomi adalah unsur yang paling dominan. Mereka mempunyai persepsi dan
harapan untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi daripada di daerah asal,
terutama perdesaan. Meskipun demikian, pesatnya pertumbuhan penduduk Kota
Surabaya selain disebabkan oleh proses migrasi, juga karena pertambahan alami.
Kota Surabaya itu sendiri telah berkembang dalam proses interaksi dari komponen
keadaan penduduk, teknologi, lingkungan dan organisasi perkotaan sehingga telah
melahirkan “ecological urban complex”.
Sejalan dengan kondisi yang
demikian maka di Kota Surabaya, seperti halnya kota-kota metropolitan yang
lain, muncul kamajemukan masyarakat. Sebagian dari sekmen masyarakat yang
majemuk tersebut adalah penduduk yang tinggal di daerah perkampungan kumuh baik
yang legal maupun yang ilegal. Penduduk yang bermukim di kampung yang ilegal
lazim disebut penduduk liar atau penduduk spontan atau squatters. Hal tersebut
telah menjadi fenomena sosial yang universal, artinya telah terjadi di banyak
negara. Keberadaan masyarakat kumuh tersebut merupakan realita sosial yang
tidak dapat dihilangkan, sepanjang penduduk daerah penyangga Kota Surabaya
masih hidup dalam kondisi marginal atau telah terjadi proses ketimpangan dalam
kehidupan sosial-ekonomi. Pembangunan investasi yang bergerak pesat telah
terjadi di Surabaya sehingga telah memperlebar jurang ketimpangan dengan
kondisi sosial-ekonomi daerah perdesaan. Oleh karena itu ketimpangan tersebut
telah menimbulkan proses migrasi , antara lain penduduk non-permanen pada strata
sosial-ekonomi bawah.
Pada tataran regional, adanya
proses kaitan yang kurang harmonis antara Kota Surabaya dengan
daerah belakang telah berlangsung puluhan tahun. Kehidupan mereka di Surabaya
telah ditunjukkan oleh rendahnya kualitas pendidikan migran non-permanen dan
umumnya mereka bekerja sebagai buruh dan sebagian lain berusaha pada sektor
informal. Sepanjang pekerjaan di sektor informal maupun buruh murah masih ada
demand di masyarakat Surabaya dan dinilai secara ekonomi menguntungkan, maka
keberadaan mereka akan tetap ada. Pilihan mereka menjadi tukang becak, menjadi
pemulung, menjadi penjual pakaian bekas, penjaja makanan murah, menjadi buruh
babrik, menjadi pembantu rumahtangga, adalah pilihan jenis pekerjaan yang
rasional dan menjadi tujuan mengingat tingkat kemampuan ekonomi dan tingkat
pendidikan mereka yang umumnya sangat rendah.
Oleh karena itu keberadaan
penduduk marginal di lingkungan permukiman kumuh Kota Surabaya merupakan suatu
keniscayaan, dan tidak perlu dipertentangkan dengan upaya pemerintah daerah
Kota Surabaya yang ingin meningkatkan keindahan dan kenyamanan lingkungan kota.
Pemerintah Kota Surabaya tidak dapat melarang seseorang yang ingin bermigrasi,
karena hak asasi manusia telah melindunginya, walaupun mereka seharusnya
mematuhi perundang-undangan yang berlaku dan menghormati nilai-nilai yang hidup
pada masyarakat Kota Surabaya. Dalam hal ini kegiatan penduduk marginal di
permukiman kumuh dapat dilihat sebagai sub-sistem dari sistem perkotaan
Surabaya. Penduduk migran non-permanen yang bermukim di daerah kumuh antara
lain berada di Kelurahan Putat Gede, Kelurahan Tg.Sari,
Kelurahan Suko Manunggal, Kelurahan Pacar Keling, Kelurahan Kr.Pilang dan
Kelurahan Waru Gunung, cenderung didominasi oleh penduduk dari daerah perdesaan
sekitar Kota Surabaya seperti Bangkalan, Gresik, Lamongan dan Mojokerto,
meskipun mereka banyak pula yang datang dari daerah lain, bahkan dari luar
provinsi Jawa Timur.
Migran non-permanen yang banyak
tinggal di daerah permukiman ilegal tersebut sering disebut sebagai penduduk
spontan atau disebut secara popular sebagai migran musiman , ternyata masih
terikat dengan kehidupan daerah asalnya. Oleh karena itu sebagian besar dari
mereka belum memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Kota Surabaya. Atas dasar pemilikan
KTP Pemkot Surabaya telah membuat kebijakan dengan memberi prioritas dalam
memperoleh atau memanfaatkan bantuan, fasilitas publik dan subsidi. Meskipun
ada kebijakan yang diskriminatif namun dalam kenyataan sebagian warga musiman
dapat ikut menikmatinya. Dalam hal ini terkesan bahwa pemerintah kota tidak
ketat antara status kependudukan dengan hak-hak warganya. Aturan kependudukan
yang tidak diikuti oleh ketegasan dalam implementasinya, tentunya telah membuat
kondisi yang kondusif terjadinya migrasi masuk ke Surabaya, yang pada
gilirannya menimbulkan berbagai masalah perkotaan, antara lain ketidakcukupan
penyediaan fasilitas sosial, munculnya konflik tanah, penurunan daya dukung
lingkungan, dan meningkatnya pengangguran.
Penduduk musiman yang umumnya
hidup dalam kondisi marginal, diharuskan memiliki Kartu Identitas Penduduk
Musiman (KIPEM), namun untuk mengurus KIPEM, apalagi menjadi warga Surabaya
tidaklah sederhana. Mereka harus mengorbankan sejumlah dana dan waktu pengurusan
yang dinilai cukup memberatkan. Di samping itu, dengan tetap mempertahankan
sebagai warga musiman, berarti mereka tidak kehilangan statusnya sebagai warga
di daerah asalnya. Dengan memiliki KTP daerah asal, berarti mereka masih tetap
memiliki hak untuk melakukan berbagai urusan di daerah asalnya misalnya memilih
kepala desa, mengurus pemilikan aset, dan mengurus tempat pemakaman. Oleh
karena itu meskipun secara de fakto mereka tinggal di Surabaya, namun masih
tetap terikat dengan daerah asalnya, bahkan telah terjadi arus remitan baik
uang maupun barang, dan penyampaian ide-ide seputar kehidupan di Surabaya.
Dalam keadaan demikian maka hal ini telah menimbulkan proses migrasi desa-kota
secara “gandeng-ceneng” (chain migration). Hasil penelitian PPK-LIPI (2004)
telah menunjukkan bahwa tidak semua pendatang, (meskipun telah lama tinggal di
Surabaya, bahkan telah punya rumah), mempunyai KIPEM. Oleh karena itu dalam
kenyataan jumlah pendatang musiman di Surabaya adalah di atas data statistik
berdasarkan kepemilikan KIPEM.
Keberadaan migran non-permanen
di permukiman kumuh yang menempati lahan milik pemerintah atau milik publik,
dapat dikategorikan sebagai hunian ilegal atau lazim disebut hunian liar (
squatter). Hal ini jelas telah menimbulkan konflik antara penghuni dengan
instansi yang bertanggung jawab atas lahan yang ditempatinya, seperti DAUP VIII
PT.TKI dan Dinas PU . Meskipun mereka
tinggal pada permukiman liar, namun mereka juga membentuk lembaga Rukun
Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW), bahkan sebagian dapat menikmati penerangan
listrik, ada pula yang punya telepon rumah, dan tetap membayar Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB). Mereka juga telah berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial
kemasyarakatan. Kondisi yang demikian, jelas akan mempersulit bagi Pemkot
Surabaya maupun pemilik lahan untuk membebaskan permukiman demikian.
Munculnya permukiman liar dan
permukiman yang tidak layak huni sebenarnya merupakan kelemahan managemen
dalam mengelola tata ruang kota. Upaya telah dilakukan untuk mengurangi
persoalan permukiman kumuh yaitu dengan perbaikan kondisi lingkungan dan
membuat rumah susun yang telah melibatkan partisipasi masyarakat . Upaya ini
telah dinilai berhasil, meskipun belum mampu menyelesaikan persoalan menyeluruh
tentang permukiman kumuh yang cenderung bertambah sejalan dengan pertambahan
penduduk pendatang yang ingin memperoleh perumahan murah. Banyak kendala yang
dihadapi dalam penyediaan rumah layak huni dalam hal ini adalah rumah susun
bagi keluarga kurang mampu antara lain kekurangan lahan kosong, rendahnya minat
swasta untuk berinvestasi, dan harga tanah di Surabaya yang sangat mahal.
Meskipun untuk membangun rumah susun adalah sulit, namun bagi kota metropolitan
Surabaya nampaknya merupakan keharusan untuk memfasilitasinya.
Penduduk pendatang yang kurang
selektif, meskipun telah memberi kontribusi negatif terhadap kondisi lingkungan
kota karena telah menciptakan permukiman kumuh dengan segala implikasinya,
namun sebenarnya mereka juga memberi kontribusi positif bagi pembangunan kota.
Kota Surabaya telah memperoleh alokasi sumberdaya manusia dari daerah
perdesaan. Sumberdaya manusia asal perdesaan kendati kualitasnya adalah rendah,
namun mereka telah menjadi bagian dari ekosistem perkotaan yang secara langsung
menyumbangkan jasa tenaga kerja murah, dan menyediakan produksi skala rumah
tangga, terutama sangat diperlukan bagi usaha formal maupun masyarakat golongan
menengah ke atas, baik sebagai tenaga kerja maupun sebagai bagian dari segmen
pasar, bahkan sebagai distributor komoditi pabrikan. Keberadaan permukiman
kumuh yang dapat menyediakan perumahan murah, juga sangat membantu penduduk
kota yang menginginkannya, misalnya buruh pabrik atau pegawai daerah golongan
rendah yang memerlukan kamar sewaan ataupun kontrakan yang relatif murah.
D. Pertumbuhan Penduduk dan Tingkat Pendidikan
Kepala BKKBN pusat Dr Sugiri Syarief menegaskan,
pertumbuhan penduduk Indonesia setiap tahunnya mencapai empat hingga lima juta
jiwa atau sebesar penduduk Singapura.Penduduk Indonesia kini mencapai 220 juta
jiwa dengan tingkat pertumbuhan 2,32% selama kurun waktu 1971-1980, kata kepala
BKKBN Sugiri Syarief dalam sambutan tertulis dibacakan Kepala Biro Perencanaan
dan Keuangan BKKBN Pusat Dra Halimah di Denpasar, Selasa.
Pada pembukaan Rapat Kerja Keluarga Berencana
Daerah (Rakerda) BKKBN Propinsi Bali tahun 2008, ia menyatakan, dengan program
KB pertumbuhan sebesar 2,32% itu kini dapat ditekan menjadi 1,3%. Meskipun
dengan program KB, jumlah penduduk Indonesia yang begitu besar, namun
pertumbuhannya pun tergolong cukup besar, sekaligus berpengaruh terhadap
struktur penduduk di Tanah Air. “Struktur penduduk Indonesia terbesar pada usia
produktif, jika mampu mengelolanya dengan baik akan menjadikan kondisi ke arah
yang baik, sebaliknya kalau gagal menanganinya menjadi pintu bencana,” ujar
Sugiri Syarief dalam acara yang dihadiri Wakil Gubernur Bali IGN Kusuma
Kelakan. Ia menilai, selain pertumbuhan penduduk Indonesia yang sangat pesat,
dari segi kualitas masih rendah, jauh tertinggal dibanding negara-negara di
kawasan ASEAN. Bahkan dengan Vietnam yang usia kemerdekaannya jauh lebih muda
dibanding dengan Indonesia, namun negara itu indeks pembangunan manusianya
masih lebih baik. Indeks pembangunan manusia Indonesia menempati posisi bawah,
yakni urutan 108 dari 177 negara. Hal itu disebabkan angka kematian ibu dan
bayi di Indonesia cukup tinggi, di samping indikator pendidikan masih rendah.
Perkembangan Jumlah Penduduk Indonesia dalam
Kaitannya dengan Perkembangan Penduduk Dunia. Jumlah penduduk pada suatu negara
selalu mengalami perubahan yang disebabkan oleh faktor kelahiran, kematian dan
migrasi atau perpindahan penduduk. Perubahan keadaan penduduk tersebut
dinamakan dinamika penduduk. Dinamika atau perubahan penduduk cenderung kepada
pertumbuhan. Pertumbuhan penduduk ialah perkembangan jumlah penduduk suatu
daerah atau negara. Jumlah penduduk suatu negara dapat diketahui melalui
sensus, registrasi dan survei penduduk. Jumlah penduduk Indonesia sejak sensus
pertama sampai dengan sensus terakhir jumlahnya terus bertambah. Sensus pertama
dilaksanakan pada tahun 1930 oleh pemerintah Hindia Belanda. Sedangkan sensus
yang pernah dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah pada tahun 1961, 1971,
1980, 1990 dan yang terakhir 2000. Sensus di Indonesia dilaksanakan oleh Badan
Pusat Statistik (BPS) dan waktu pelaksanaan sensus di Indonesia diadakan
sepuluh tahun sekali.
Perbandingan jumlah, kepadatan dan laju
pertumbuhan penduduk Indonesia dengan beberapa negara lain :
a. Indonesia dengan Negara ASEAN
1. Jumlah penduduk :
Indonesia menempati urutan pertama dalam kelompok negara ASEAN
2. Kepadatan penduduk :
Indonesia berada pada urutan ke-5, yaitu 114 jiwa per km2, Singapura
memiliki kepadatan penduduk paling tinggi dan Brunei Darussalam memiliki kepadatan
penduduk terendah
3. Pada tahun 2005, laju
perumbuhan penduduk Indonesia menempati urutan ke-6 (1,45% per tahun), setelah Laos (2,3% per tahun) Filipina
(2,0% per tahun) Malaysia (1,80% per tahun), Brunei Darussalam (1,9% per
tahun), Kamboja (1,8% per tahun) serta Singapura dan Thailand (0,8% per tahun)
b. Indonesia dengan Negara-negara di Dunia
1. Jumlah penduduk
Indonesia berada pada urutan ke-4 (215,27 ju ta jiwa), setelah Cina (1,306
milyar jiwa), India (1,068 milyar jiwa) dan Amerika Serkat (295 juta jiwa) pada
tahun 2005.
2. Negara terpadat
penduduknya adalah Macao (22.260 jiwa per km2), setelah itu
Monako(16.135 jiwa per km2) dan Singapura (7.461 jiwa per km2).
Indonesia memiliki kepadatan penduduk jauh di bawah ketiga negara tersebut,
yaitu sebesar 341 jiwa per km
c. Tingkat Pendidikan di Indonesia
Tingkat pendidikan
adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan
peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan kemampuan yang dikembangkan (UU RI
No. 20 Tahun 2003 Bab I, Pasal I ayat 8). Jalur pendidikan terdiri
atas pendidikan formal, non formal, dan informal yang dapat saling melengkapi
dan memperkaya. Jenjang pendidikan formal terdiri atas jenjang pendidikan
dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Sebagai persiapan untuk
memasuki pendidikan dasar diselenggarakan kelompok belajar yang disebut
pendidikan prasekolah. Pendidikan prasekolah belum termasuk jenjang pendidikan
formal, tetapi baru merupakan kelompok sepermainan yang menjembatani anak
antara kehidupannya dalam keluarga dengan sekolah.
1. Tingkat Pendidikan Dasar
Pendidikan dasar
diselenggarakan untuk memberikan bekal dasar yang diperlukan untuk hidup dalam
masyarakat berupa pengembangan sikap, pengetahuan, dan keterampilan menengah.
Oleh karena itu pendidikan dasar menyediakan kesempatan bagi seluruh warga
negara untuk memperoleh pendidikan yang bersifat dasar yang berbentuk Sekolah
Dasar (SD) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP)
atau bentuk lain yang sederajat. UU RI No. 20 Tahun 2003 menyatakan dasar dan
wajib belajar pada Pasal 6 Ayat 1 bahwa, “Setiap warga negara yang berusia 7
sampai dengan 15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
2. Tingkat Pendidikan Menengah
Pendidikan menengah yang
lamanya tiga tahun sesudah pendidikan dasar, di selenggarakan di SLTA (Sekolah
Lanjutan Tingkat Atas) atau satuan pendidikan yang sederajat. Pendidikan
menengah dalam hubungan ke bawah berfungsi sebagai lanjutan dan perluasan
pendidikan dasar, dalam hubungan ke atas mempersiapkan peserta didik untuk
mengikuti pendidikan tinggi ataupun memasuki lapangan kerja. Pendidikan menengah
terdiri atas pendidikan menengah umum, pendidikan menengah kejuruan, dan
pendidikan menengah luar biasa, pendidikan menengah kedinasan dan pendidikan
menengah keagamaan (UU No. 20 Tahun 2003 Bab VI Pasal 18 Ayat 1-3)
3. Tingkat Pendidikan Tinggi
Pendidikan
tinggi merupakan kelanjutan pendidikan menengah, yang diselenggarakan untuk
menyiapkan peserta didik untuk menjadi anggota masyarakat yang memiliki
kemampuan akademik dan/atau profesional yang yang dapat menerapkan,
mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau
kesenian. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut lembaga pendidikan tinggi
melaksanakan misi “Tridharma” pendidikan tinggi yang meliputi pendidikan,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dalam ruang lingkup tanah air
Indonesia sebagai kesatuan wilayah pendidikan nasional. Pendidikan tinggi juga
berfungsi sebagai jembatan antara pengembangan bangsa dan kebudayaan nasional
dengan perkembangan internasional. Untuk itu dengan tujuan kepentingan
nasional, pendidikan tinggi secara terbuka dan selektif mengikuti perkembangan
kebudayaan yang terjadi di luar Indonesia untuk di ambil manfaatnya bagi
pengembangan bangsa dan kebudayaan nasional. Untuk dapat mencapai dan kebebasan
akademik, melaksanakan misinya, pada lembaga pendidikan tinggi berlaku
kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan dan otonomi dalam pengolaan
lembaganya. Satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi di sebut
perguruan tinggi yang dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi,
institut, dan universitas. Akademi merupakan perguruan tinggi yang
menyelenggaran pendidikan terapan dalam suatu cabang atau sebagian cabang ilmu
pengetahuan teknologi dan kesenian tertentu. Politeknik merupakan
perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan terapan dalam sejumlah bidang
pengetahuan khusus. Sekolah tinggi ialah perguruan tinggi yang menyelenggarakan
pendidikan akademik dan/atau profesional dalam satu disiplin ilmu atau bidang
tertentu. Institut ialah perguruan tinggi terdiri atas sejumlah fakultas
yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau profesional dalam sekelompok
disiplin ilmu yang sejenis. Universitas ialah perguruan tinggi yang terdiri
atas sejumlah fakultas yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau
profesional dalan sejumlah disiplin ilmu tertentu. Pendidikan yang bersifat
akademik dan pendidikan profesional memusatkan perhatian terutama pada usaha
penerusan, pelestarian, dan pengembangan peradaban, ilmu, dan teknologi,
sedangkan pendidikan yang bersifat profesional memusatkan perhatian pada usaha
peradaban serta penerapan ilmu dan teknologi. Dalam rangka pengembangan diri,
bangsa, dan negara. Output pendidikan tinggi diharapkan dapat
mengisi kebutuhan yang beraneka ragam dalam masyarakat. Dari segi peserta didik
kenyataan menunjukkan bahwa minat dan bakat mereka beraneka ragam. Berdasarkan
faktor-faktor tersebut, maka perguruan tinggi di susun dalam multistrata. Suatu
perguruan tinggi dapat menyelenggarakan gerakan satu strata atau lebih. Strata
dimaksud terdiri dari S0 (non strata) atau program diploma, lama belajarnya 2
tahun (D2) atau tiga tahun (D3), juga program nongelar. S1 (program strata
satu), lama belajarnya empat tahun, dengan gelar sarjana, S2 (Program strata
dua) atau program pasca sarjana, lama belajarnya dua tahun sesudah S1, dengan
gelar magister, S3 (program strata tiga atau program doctor), lama belajarnya
tiga tahun sesudah S2, dengan gelar doktor. Program diploma atau
program nongelar memberi tekanan pada aspek praktis profesional sedangkan program
gelar memberi tekanan pada aspek ataupun aspek akademik profesional. Disamping program
diploma dan program sarjana, pendidikan tinggi (dalam hal ini LPTK atau Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan) dapat juga menyelenggarakan program Akta
mengajar yaitu Akta III, Akta IV, dan Akta V. Program ini diadakan untuk
melayani kebutuhan akan tenaga mengajar di satu sisi dan pada sisi yang lain
untuk melindungi profesi guru (tenaga kependidikan). Dengan ini dimaksudkan
bahwa seorang hanya dianggap sah memiliki kewenangan mengajar jika
memiliki sertifikat atau akta mengajar, Program Akta Mengajar merupakan program
paket kependidikan sebesar 20 SKS atau untuk lama studi satu semester (6 bulan)
bagi masing-masing jenjang Akta.
E. Pertumbuhan
Penduduk dan Penyakit yang Berkaitan dengan Lingkungan Hidup
Pertumbuhan penduduk adalah
perubahan jumlah penduduk baik pertambahan maupun penurunannya. Adapun faktor –
faktor yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk adalah kelahiran, kematian, dan
perpindahan penduduk. Kelahiran dan kematian dinamakan faktor alami sedangkan
perpindahan penduduk adalah faktor non alami. Migrasi ada dua yaitu migrasi
masuk yang artinya menambah jumlah penduduk sedangkan migrasi keluar adalah
mengurangi jumlah penduduk. Migrasi itu biasa terjadi karena pada tempat orang
itu tinggal kurang ada fasilitas yang memadai. Selain itu juga kebanyakan
kurangnya lapangan kerja. Maka dari itu banyaklah orang yang melakukan migrasi.
Dalam dalam
masalah ini maka penduduk tidak aka jauh dengan masalah kesehatan atau penyakit
yang melanda penduduk tersebut,dikarenakan lingkungan yang kurang terawat
ataupun pemukiman yang kumuh,seperti limbah pabrik,selokan yang tidak terawat
yang menyebabkan segala penyakit akan melanda para penghuni wilayah tersebut
yang mengakibatkan kematian dan terjadi pengurangan jumlah penduduk.
Untuk menjamin kesehatan bagi
semua orang di lingkunan yang sehat, perlu jauh lebih banyak daripada hanya
penggunaan teknologi medikal, atau usaha sendiri dalam semua sektor kesehatan.
Usaha-usaha secara terintegrasi
dari semua sektor, termasuk organisasi-organisasi, individu-individu, dan
masyarakat, diperlukan untuk pengembangan pembangunan sosio-ekonomi yang
berkelanjutan dan manusiawi, menjamin dasar lingkungan hidup dalam
menyelesaikan masalah-masalah kesehatan.
Seperti semua makhluk hidup,
manusia juga bergantung pada lingkungannya untuk memenuhi keperluan-keperluan
kesehatan dan kelangsungan hidup. Kesehatanlah yang rugi apabila lingkungan
tidak lagi memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia akan makanan, air, sanitasi,
dan tempat perlindungan yang cukup dan aman- karena kurangnya sumber-sumber
atau distribusi yang tidak merata. Kesehatanlah yang rugi apabila orang-orang
menghadapi unsur-unsur lingkungan yang tidak ramah- seperti binatang-binatang
mikro, bahan-bahan beracun, musuh bersenjata atau supir-supir yang mabuk.
Kesehatan manusia adalah
keperluan dasar untuk pembangunan berkelanjutan. Tanpa kesehatan, manusia tidak
dapat membangun apa pun, tidak dapat menentang kemiskinan, atau melestarikan
lingkungan hidupnya. Sebaliknya, pelestarian lingkungan hidup merupakan hal
pokok untuk kesejahteraan manusia dan proses pembangunan. Lingkungan yang sehat
menghasilkan masyarakat yang sehat, sebaliknya lingkungan yang tidak sehat
menyebabkan banyak penyakit.
Kemampuan manusia untuk
mengubah atau memoditifikasi kualitas lingkungannya tergantung sekali pada
taraf sosial budayanya. Masyarakat yang masih primitif hanya mampu membuka
hutan secukupnya untuk memberi perlindungan pada masyarakat. Sebaliknya,
masyarakat yang sudah maju sosial budayanya dapat mengubah lingkungan hidup
sampai taraf yang irreversible. Prilaku masyarakat ini menentukan gaya hidup
tersendiri yang akan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan yang
diinginkannya mengakibatkan timbulnya penyakit juga sesuai
dengan prilakunya tadi. Dengan demikian eratlah hubungan antara kesehatan
dengan sumber daya social ekonomi. WHO menyatakan “Kesehatan adalah suatu
keadaan sehat yang utuh secara fisik, mental dan sosial serta bukan hanya
merupakan bebas dari penyakit”.Dalam Undang Undang No. 9 Tahun 1960 tentang
Pokok-Pokok Kesehatan. Dalam Bab 1,Pasal 2 dinyatakan bahwa “Kesehatan adalah
meliputi kesehatan badan (somatik),rohani (jiwa) dan sosial dan bukan hanya
deadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan”. Definisi ini memberi
arti yang sangat luas pada kata kesehatan. Keadaan kesehatan lingkungan di
Indonesia masih merupakan hal yang perlu mendapaat perhatian, karena
menyebabkan status kesehatan masyarakat berubah seperti: Peledakan penduduk,
penyediaan air bersih, pengolalaan sampah,pembuangan air limbah penggunaan
pestisida, masalah gizi, masalah pemukiman, pelayanan kesehatan,
ketersediaan obat, populasi udara, abrasi pantai,penggundulan hutan dan banyak
lagi permasalahan yang dapat menimbulkan satu model penyakit. Jumlah
penduduk yang sangat besar 19.000 juta harus benar-benar ditangani
masalah.pemukiman sangat penting diperhatikan. Pada saat ini pembangunan di
sektor perumahan sangat berkembang, karena kebutuhan yang utama bagi
masyarakat. Perumahan juga harus memenuhi syarat bagi kesehatan baik ditinjau
dari segi bangungan, drainase, pengadaan air bersih, pentagonal sampah domestik
uang dapat menimbulkan penyakit infeksi dan ventilasi untuk pembangunan asap
dapur. Indonesia saat ini mengalami transisi dapat terlihat dari perombakan
struktur ekonomi menuju ekonomi industri, pertambahan jumlah penduduk,
urbanisasi yang meningkatkan jumlahnya, maka berubahlah beberapa indikator
kesehatan seperti penurunan angka kematian ibu, meningkatnya angka harapan
hidup ( 63 tahun ) dan status gizi. Jumlah penduduk terus bertambah, cara
bercocok tanam tradisional tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan hidup
masyarakat. Dengan kemampuan daya pikir manusia, maka manusia mulai menemukan
mesin-mesin yang dapat bekerja lebih cepat dan efisien si dari tenaga manusia.
Contoh:
Surabaya Terkena wabah penyakit Sapi
gila
Kurang aktif
Lembaga Perlindungan Konsumen
Surabaya (LPKS) menilai pemerintah kurang aktif melakukan sosialisasi wabah
penyakit sapi gila atau Bovine Spongiform Enchephalopathy (BSE) kepada
masyarakat luas. “Pemerintah masih kurang respon dalam menjelaskan peristiwa
anthraks yang terjadi tahun lalu maupun isu tentang BSE yang banyak diberitakan
pada awal tahun ini,” ujar Pengurus LPKS, drh Djoko Legowo, MKes di Surabaya,
Sabtu. Menurut alumni Fakultas Kedokteran Hewan Unair ini semestinya
pemerintah lebih proaktif melakukan sosialisasi masyarakat tentang ihwal
penyakit-penyakit hewan yang mungkin menjangkiti hewan qurban. Kemudian
dijelaskan langkah-langkah apa yang telah, sedang dan akan dilakukan dalam
menjamin ketersediaan hewan qurban yang aman di masyarakat, sehingga masyarakat
konsumen mendapatkan haknya, yaitu perasaan aman dalam mengkonsumsi produk
hewan korban. Khusus pada hari raya Idhul Adha ketika penyembelihan hewan qurban
dilakukan secara terbuka di masyarakat, katanya, maka perlu dijelaskan
langkah-langkah apa yang akan ditempuh untuk menghindari kemungkinan
tersebarnya penyakit-penyakit itu. LPKS mengusulkan langkah kongkrit kepada
pemerintah agar membuat kit-kit (alat) untuk mengetahui ada-tidaknya sapi gila. “Tidak
perlu seluruh daerah di Indonesia, cukup ’sample-sample’ daerah tertentu atau
melakukan isolasi terhadap daerah yang dicurigai, kemudian dilakukan uji tes
laboratorium lebih lanjut,” katanya.
Kendati anthraks sudah reda,
Djoko menduga penyakit anthraks saat ini masih ada di Jatim karena pemantauan
berkelanjutan yang seharusnya dilakukan Departemen Pertanian dan instansi
terkait tidak pernah disampaikan kepada masyarakat. “Kita
nggak tahu pemerintah selalu mendadak dan kalau ada tekanan dari masyarakat
sepertinya mereka baru melakukan dan melihat, seperti anthraks ini mereka hanya
memberikan penjelasan ‘lips service’ saja ke masyarakat,”
katanya. LPKS juga mengimbau kepada warga agar melakukan “class
action” ke pemerintah kalau ada kejadian yang merugikan masyarakat,
misalnya kepada warga yang terkena dampak penyakit sapi gila. Pantau
sapi gila sebanyak 250 dokter hewan
anggota Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) Cabang Jatim I dibantu
mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Unair Surabaya telah melakukan pemantauan
terhadap penyakit-penyakit strategis pada hewan qurban.
“Pemantauan kami lakukan dalam
gelar bakti sosial menjelang pelaksanaan Idul Adha. Bakti sosial itu sendiri
sudah kami mulai semenjak Selasa atau 20 Januari lalu,” ujar Ketua I PDHI
Cabang Jatim I, drh CA Nidom MS.
Bakti sosial ini merupakan
acara rutin yang digelar PDHI dan tahun 2004 merupakan tahun ke dua pelaksanaan
bakti sosial yang area kerjanya dimekarkan menjadi dua kabupaten dan satu kota,
Surabaya, Sidoarjo dan Gresik. Sebelumnya, bakti sosial hanya dilakukan di
Surabaya, bakti sosial ini dilaksanakan dengan cara bekerja sama dengan
instansi terkait sesuai peraturan yang berlaku serta bekerjasama dengan Yayasan
Dana Sosial Al Falah (YDSF).
Dosen Biologi Molekuler
Fakultas Kedokteran Hewan Unair ini mengatakan visi dari kegiatan ini adalah
membantu masyarakat dalam memperoleh ternak dan daging yang aman, sehat, utuh,
halal dan meningkatkan konsumsi daging ternak lokal. Untuk
misi kegiatan, kata mantan anggota Tim Bom Bali itu, adalah pemantauan terhadap
penyakit-penyakit strategis dan sapi gila pada hewan qurban dengan melaksanakan
pemeriksaan “ante mortem” dan “post mortem”. Pemeriksaan “ante mortem”,
dilakukan dengan cara mengunjungi secara aktif kepada para penjual hewan qurban
yang tersebar di Kabupaten Sidoarjo, Gresik dan Kota Surabaya, serta upaya
secara pasif melayani permintaan warga. “Pemeriksaan ini meliputi
pemeriksaan kesehatan hewan terhadap penyakit-penyakit strategis pada hewan
qurban dan juga kemungkinan terjadinya penyakit sapi gila, kemudian memberikan
sertifikat kesehatan untuk ternak qurban yang sudah diperiksa,” katanya. Untuk
pemeriksaan “post mortem”, dilaksanakan di tempat-tempat penyembelihan hewan
qurban dengan menyebar tenaga dokter hewan dan mahasiswa ke titik-titik
tersebut. “Pelaksanaan bakti sosial ini dilaksanakan dengan cara memantau
teknik penyembelihan dan pemeriksaan kesehatan daging meliputi pemeriksaan
terhadap daging, organ pencernaan dan pernafasan,” katanya
F. Pertumbuhan
Penduduk dan Kelaparan
Dampak pertumbuhan penduduk di suatu negara
sangat banyak dan bermacam-macam. Dampak pertumbuhan penduduk ini sangat
merugikan keberlangsungan makhluk hidup dan apabila tidak ada pencegahan
dari pertumbuhan penduduk ini, maka akan semakin banyak dampak dan membuat
keberlangsungan hidup suatu negara tidak lagi nyaman untuk ditinggali. Dampak
dari pertumbuhan penduduk yaitu lahan tempat tinggal dan bercocok tanam
berkurang, semakin banyaknya polusi dan limbah yang berasal dari rumah tangga,
pabrik, perusahaan, industri, peternakan, dll. Angka pengangguran dan
kemiskinan meningkat. Angka kesehatan dan kecukupan gizi masyarakat
menurun sehingga dapat menimbulkan penyakit baru. Pembangunan daerah semakin
dituntut banyak. Ketersediaan pangan sulit. Pemerintah harus membuat kebijakan
yang rumit.
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi
ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan , pakaian ,
tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh
kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap
pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang
memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya
melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya
dari sudut ilmiah yang telah mapan, dll. Kemiskinan berkaitan erat dengan askes
pelayanan kesehatan, pemenuhan kebutuhan gisi dan kalori. Dengan demikian
penyakit masyarakat umumnya berkaitan dengan penyakit menular, seperti diare,
penyakit lever, TBC dll. Juga penyakit kekurangan gizi termasuk busung lapar,
anemi terutama pada bayi, anak-anak dan ibu hamil. Kematian adalah konsekuensi
dari penyakit yang ditimbulkan karena kemiskinan ini. (kekurangan gisi
menyebabkan rentan terhadap infeksi). Baik itu kematian bayi baru lahir
(neonatal, kematian balita, kematian dewasa). Kaitan penduduk, kemiskinan,
kesejahteraan dan komponen demografi seperti fertilitas, mortalitas, morbiditas,
migrasi, ketenagakerjaan, perkawinan, dan aspek keluarga dan rumah tangga.
Pengetahuan tentang aspek demografi akan membantu para policy makers dan
perencana program untuk dapat membuat kebijakan yang tepat sasaran serta
mengembangkan program yang tepat.
Penyebab kemiskinan dan keterbelakangan banyak
dihubungkan dengan individu seseorang atau patologis, keluarga, sub budaya,
agensi dan struktural. Penyebab individual, atau patologis, yang melihat
kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si
miskin. Contoh dari perilaku dan pilihan adalah penggunaan keuangan tidak
mengukur pemasukan. Penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan
pendidikan keluarga. Penyebab keluarga juga dapat berupa jumlah anggota
keluarga yang tidak sebanding dengan pemasukan keuangan keluarga.
Keluarga mempunyai tanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan pelayanan
dasar (pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup dlll). Perlu pemberdayaan
keluarga. Penyebab sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan
kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam
lingkungan sekitar. Individu atau keluarga yang mudah tergoda dengan keadaan
tetangga adalah contohnya. Penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai
akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi. Contoh
dari aksi orang lain lainnya adalah gaji atau honor yang dikendalikan oleh
orang atau pihak lain. Contoh lainnya adalah perbudakan. Penyebab struktural,
yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.
G. Kemiskinan dan Keterbelakangan
Secara sosiologis, kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan ditentukan
oleh tiga faktor; yakni kesadaran manusia, struktur yang menindas, dan fungsi
struktur yang tidak berjalan semestinya. Dalam konteks kesadaran, kebodohan,
kemiskinan dan keterbelakangan biasanya merujuk pada kesadaran fatalistik dan
menyerah pada “takdir”. Suatu kondisi diyakini sebagai pemberian Tuhan yang
harus diterima, dan perubahan atas nasib yang dialaminya hanya mungkin
dilakukan oleh Tuhan. Tak ada usaha manusia yang bisa mengubah nasib seseorang,
jika Tuhan tak berkehendak. Kesadaran fatalistik bersifat pasif dan pasrah
serta mengabaikan kerja keras. Kesadaran ini tampaknya dimiliki sebagian besar
masyarakat Indonesia, sehingga kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan
diterima sebagai takdir yang tak bisa ditolak. Bahkan, penerimaan terhadap
kondisi itu merupakan bagian dari ketaatan beragama dan diyakini sebagai
kehendak Tuhan. Kesadaran keberagamaan yang fatalistik itu perlu dikaji ulang.
Pasalnya, sulit dipahami jika manusia tidak diberi kebebasan untuk berpikir dan
bekerja keras. Kesadaran fatalistik akan mengurung kebebasan manusia sebagai
khalifah di bumi. Sementara sebagai khalifah, manusia dituntut untuk menerapkan
ajaran dalam konteks dunia dan akhirat. Oleh karena itu, kemiskinan dan
kebodohan, wajib diubah. Bahkan, kewajiban itu adalah bagian penting dari
kesadaran manusia. Faktor penyebab lain yang menyebabkan kemiskinan, kebodohan,
dan keterbelakangan karena otoritas struktural yang dominan. Kemiskinan,
misalnya, bisa disebabkan oleh ulah segelintir orang di struktur pemerintahan
yang berlaku tidak adil. Kemiskinan yang diakibatkan oleh problem struktural
disebut “kemiskinan struktural”. Yaitu kemiskinan yang sengaja diciptakan oleh
kelompok struktural untuk tujuan-tujuan politik tertentu. Persoalan kemiskinan,
kebodohan, dan keterbelakangan juga disebabkan karena tidak berfungsinya sistem
yang ada. Sebab orang-orang yang berada dalam sistem tidak memiliki kemampuan
sesuai dengan posisinya. Akibatnya sistem berjalan tersendat-sendat, bahkan
kacau. Kesalahan menempatkan orang tidak sesuai dengan kompetensinya (one man
in the wrong place) bisa mengakibatkan kondisi bangsa ini menjadi fatal. Kondisi
masyarakat Indonesia yang masih berkubang dalam kemiskinan, kebodohan, dan
keterbelakangan, jelas berseberangan dengan prinsip-prinsip fitrah manusia.
Fitrah manusia adalah hidup layak, berpengetahuan, dan bukan miskin atau bodoh.
Untuk mengentaskan masyarakat Indonesia dari kubangan kemiskinan, kebodohan,
dan keterbelakangan, pemerintah perlu mengambil kebijakan strategis. Kebijakan
strategis tersebut membutuhkan suatu jalur yang dipandang paling efektif. Dalam
konteks inilah penulis berpendapat bahwa pendidikan merupakan satu-satunya
jalur paling efektif untuk mengentaskan seluruh problem sosial di Indonesia. Meskipun
persoalan kemiskinan bisa saja disebabkan karena struktur dan fungsi struktur
yang tidak berjalan, akan tetapi itu semua mengisyaratkan pada faktor
manusianya. Struktur jelas buatan manusia dan dijalankan oleh manusia pula.
Jadi, persoalan kemiskinan yang bertumpu pada struktur dan fungsi sistem jelas
mengindikasikan problem kesadaran manusianya. Dengan demikian, agenda terbesar
pendidikan nasional adalah bagaimana merombak kesadaran masyarakat Indonesia
agar menjadi kritis.
Daftar Pustaka
Alathas, Secha. 1995. Migrasi & Distribusi Penduduk di Indonesia. Jakarta : Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN.
Anugrah, Novia. 2012. Penduduk dan Permasalahannya. Makasar: Universitas Negeri Makasar.
Bappenas, 2002. Tingkat Pemahaman Aparatur Pemerintah Daerah terhadap Prinsip-Prinsip Tata Pemerintahan yang Baik, Jakarta: Sekretariat Pengembangan Public Good Governance.
Bappenas, 2005. Penerapan Good Governance, Jakarta: Tim Pengembangan
Kebijakan Nasional Tata Kepemerintahan Yang Baik.
BPS. 2015. Jagakarsa dalam Angka. Badan Pusat Statistik.
Endah Ayu, Trophy. 2010. Pertumbuhan dan Persebaran Penduduk Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Endah Ayu, Trophy. 2015. Jagakarsa dalam Angka. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Fattah, Sanusi , dkk. 2008. Ilmu pengetahuan sosial : untuk SMP/ MTs kelas VIII. Jakarta. Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional
Herimanto. 2008. IlmuSosialdanBudayaDasar. Jakarta : BumiAksara
Karyana, Yayat dkk. 2015. Mobilitas Penduduk dan Bonus Demografi. Bandung: Unpad Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar